Selasa, 03 Juni 2014

Ramadhan, Aku Pura-pura Rindu


Perenung untuk Ramadhan mendatang.



Ramadhan, ternyata selama ini kami cuma pura-pura merindukanmu.

Sejak dua bulan lalu ketika kami panjatkan doa kepada Allah untuk disampaikan kepadamu, kami selalu bilang kami begitu merindukanmu.
Ketika itu pula, kami selalu bilang kami tak sabar lagi untuk berjumpa denganmu – takut rasanya, bila ternyata umur ini membuat kami tak punya kesempatan untuk kita saling menyapa, saling mengisi, saling menyemangati. Akhirnya sampai juga hari ini, bahkan sudah separuh Ramadhan kami jalani.
Benar sekali, suka cita kami menyambut kehadiranmu. Apa lagi yang kami tunggu? Maka petasan meledak dan berisik di sana-sini, masjid-masjid kembali hidup, kitab-kitab dibersihkan dari debu yang menyelimutinya entah sejak kapan – Ramadhan lalu barang kali.
Berbondong-bondong kami berangkat sholat Tarawih meski berat sebab perut kami masih dalam keadaan kenyang keterlaluan, pukul tiga acara televisi sudah ramai dengan lawakan-lawakan yang tidak lucu, dan seperti biasa: lagu-lagu religi diperdengarkan di mana-mana. 

Inikah juga yang kau harapkan wahai Ramadhan?

Tiap hari kami menghitung lembar-lembar kitab yang telah kami baca, kami tersenyum: sudah banyak, insyaAllah targetan kami tercapai.
Kami tak terlalu perduli apakah kitab yang bolak-balik kami baca itu kami mengerti atau tidak, apalagi mengamalkannya – kejauhan.
Kami sudah sangat puas bila ada yang bertanya 'sudah berapa lembar yang sudah dibaca?' Kami bisa menjawab: 'sudah khatam dua kali'. Lalu mereka kagum. Bukankah itu surga?

Tapi, itukah sambutan yang sungguh kau harapkan wahai Ramadhan?

Kami melihat agenda harian kami:
❐ Senin buka bersama dengan X,
❐ Selasa buka bersama dengan Y,
❐ Rabu buka bersama dengan Z, sekaligus Sahur on The Road,
❐ Kamis.. 
❐ Jum’at.. 
..............begitu seterusnya.
Begitulah cara kami merayakan kedatanganmu.
Tarawih bisa dilewatkan karena sunnah, shalat malam jangan ditanya, mana sanggup kami menunaikannya.
Malam-malam kami habiskan dengan tidur dengan lelap karena lelah, jangan sampai kami kesiangan sahur apalagi ketinggalan acara sahur favorit. Nanti kami dibilang tidak gaul.
Shalat subuh dibulan Ramadhan bagi kami adalah ritual penting menurut alam mimpi.
Ya, kami tidur lagi karena tidur dibulan Ramadhan adalah ibadah.
Puasa kami tidak pernah bolong barang sehari, sebagaimana lisan kami yang tak pernah lupa jadwal amalan gibahnya.
Kami begitu kuat menahan lapar, dahaga, birahi, sebagaimana kami begitu kuat menahan harta yang ada di dompet kami – tak ada yang boleh menyentuhnya, sebab akan kami gunakan untuk lebaran maha meriah kami.
Sesekali kami ingat ucapan penyair itu:
"kau akan menjadi milik hartamu jika kau menahannya, dan jika kau menafkahkannya maka harta itu menjadi milikmu."

Tapi siapa perduli. Lebaran tetaplah lebaran, merayakannya dengan kesederhanaan tak boleh jadi pilihan.


Seperti itukah perlakuan yang ingin kau dapatkan wahai Ramadhan?


Kelak ketika Ramadhan berakhir, kami – dengan mengendarai mobil pribadi kami – akan berkeliling mengunjungi saudara dan kerabat, bermaaf-maafan atau sekedar mencicip kue. Kami tentu senang, bahagia, karena katanya kami menang.

Ah, Ramadhan.

Entahlah, kami tak mengerti: barangkali kami memang cuma pura-pura merindukanmu. 


from: http://azharologia.com/2013/07/24/ramadhan-aku-pura-pura-rindu/

Senin, 02 Juni 2014

Ibu (lagi..)

Ibu...
Engkau basuh kesedihanku, kehampaanku dan ketidakberdayaanku
"Tiada lain kita hanya insan Sang Kuasa, Memiliki tugas di bumi tuk menegakkan kalimatNya. Kita adalah jasad, jiwa, dan ruh yang terpadu untuk memberi arti bagi diri dan yang lain"
Kata-katamu laksana embun di padang gersang nuraniku,
memberiku setitik cahaya dalam kekalutan berfikirku,
Kau labuhkan hatimu untukku dengan tulus tak berpamrih

Kusandarkan diriku di bahumu
Kelembutanmu terasa menembus dinding-dinding kalbuku,
Menghancur-leburkan segala keangkuhan diri,
Meluluhkan semua kelelahan dan beban dunia,
Dan membiarkannya tenang terhanyut bersama kedalaman hatimu.

Kutatap perlahan...
matamu yang membiaskan ketegaran dan perlindungan,
Kristal-kristal lembut yang sedang bermain di bola matamu,
jatuh...setetes demi setetes,
Kau biarkan ia menari di atas kain kerudungmu,
Laksana oase di terik panasnya gurun sahara.

Ibu...
Nasihatmu memberi kekuatan untukku,
rangkulanmu menjadi penyangga kerapuhanku untuk menapaki hari-hari penuh liku…semoga semua itu tak akan pernah layu!

Ibu...
Dalam kelembutan cintamu kulihat kekuatan,
dalam tangis air matamu kulihat semangat menggelora,
dalam dirimu, terkumpul seluruh daya dunia!








Aku sayang pada kalian berdua ❤IBU❤ + ❤BAPAK❤